Mampukah TCM Membawa Singkawang Lebih Progresif?




Tahun politik Singkawang telah dilalui dengan aman. Pada 2017 telah dilakukan pemilihan walikota dan dalam pesta demokrasi tersebut nama Tjhai Chui Mie keluar sebagai juaranya. Dengan persentase yang cukup tinggi, beliau mengalahkan tiga calon lainnya. Perempuan kelahiran Singkawang, 27 Februari tahun 1972 lampau sebelumnya adalah seorang anggota DPRD Kota Singkawang periode 2009-2014 dan 2014-2919. Didampingi Irwan sebagai wakil, Tjhai Chui Mie akan menjabat sebagai walikota perempuan pertama di Kota Singkawang.

Tak lama setelah terpilihnya Tjhai Chui Mie sebagai walikota, di tempat lain Halimah Yacob didaulat sebagai presiden perempuan pertama Singapura. Di tengah mayoritas masyarakat Tionghoa, Halimah yang seorang perempuan Melayu diberikan mandat untuk memimpin negara yang menggantungkan kehidupannya pada bidang industri dan jasa.

Respon publik terhadap perempuan semakin lama semakin baik. Hal ini tentu jauh berbeda dengan kondisi ketika Megawati Soekarnoputri diangkat jadi presiden menggantikan Abdurrahman Wahid. Ketika itu sentimen agama begitu terasa. Isu bahwa seorang perempuan tidak boleh menjadi seorang presiden di-blow up sedemikian rupa oleh lawan politiknya. Tapi hal itu tidak lagi tampak pada saat ini. Bahkan, dalam pemilihan walikota Singkawang, isu itu sama sekali tidak dijadikan alat propaganda oleh lawan politik Tjhai Chui Mie.

Menengok respon publik yang positif terhadap perempuan, ada beberapa hal yang mungkin menjadi faktor penyebabnya.

Pertama, kapasitas. Sama dengan laki-laki, kapasitas seorang perempuan adalah tolok ukur pertama yang dilihat ketika seseorang menjadi seorang pemimpin. Track record dan portofolio adalah dua hal penting untuk menengok kapasitas seseorang. Dengan menengok dua hal tersebut, publik bisa mengetahui kapasitas orang yang akan menimpinnya. Tjhai Chui Mie dikenal sangat aktif dalam kegiatan sosial. Hingga saat ini, beliau masih diberikan amanah sebagai ketua pengurus Yayasan Buddha Tzu Chi Kota Singkawang. Melalui lembaga sosial tersebut, beliau dikenal oleh konstituennya sebagai orang yang pantas untuk memimpin Kota Singkawang. Begitu juga dengan Halimah Yacob. Beliau tidak “ujug-ujug” menjadi seorang presiden. Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pengembangan Komunitas. Karier beliau yang sangat cemerlang sehingga mengantarkannya sebagai ketua parlemen Singapura pada tahun 2013. Pada 2017 beliau adalah satu-satunya orang dari kalangan masyarakat Melayu yang dianggap berkapasitas untuk memimpin Singapura dalam beberapa tahun ke depan. Dalam hal ini, kapasitas adalah harga mati. Walaupun menjadi seorang pemimpin sarat dengan kepentingan yang tidak sekadar politis, kapasitas seorang perempuan benar-benar dibutuhkan untuk mengelola dan memanajemen daerah serta konstituennya agar tetap berada di jalur yang benar, sesuai dengan rencana strategis yang disusun di awal periode pemerintahan.

Kedua, kesempatan. Prinsip kesetaraan gender di Indonesia masa kini bukan isapan jempol belaka. Prinsip ini telah terinternalisasi ke semua aspek. Harapan bahwa perempuan mesti mendapatkan tempat yang setara dengan laki-laki bukan lagi sebuah mimpi di siang bolong. Kesetaraan inilah cikal bakal terbukanya kesempatan yang begitu luas bagi perempuan untuk berpartisipasi secara aktif di semua aspek kehidupan, termasuklah di dunia politik. Kesempatan berpolitik bagi perempuan tentu saja tidak terlepas dari akibat globalisasi, kompetisi, dan tingginya tuntutan hidup pada tiap individu. Hidup di era “borderless” menuntut perempuan untuk menjadi seorang profesional melalui pendidikan formal ataupun nonformal. Dengan kompetensi yang dimilikinya dan dengan kemampuan memanajemen yang baik, maka perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menjalankan roda pemerintahan: melakukan manajemen publik.

Ketiga, harapan publik. Akhir-akhir ini pemberitaan di media massa dipenuhi oleh kasus korupsi kepala daerah. Hal itu sungguh meresahkan. Tentu saja, jika hal itu terjadi terus menerus maka kepercayaan publik kepada pemerintah akan terdegradasi secara perlahan. Hadirnya tokoh politik perempuan tampaknya bisa menjadi antitesis dari banyaknya kasus korupsi yang didominasi laki-laki. Walaupun tidak menutup mata, ada juga tindak pidana tersebut yang dilakukan oleh politikus perempuan. Ketika menengok terpilihnya Tjhai Chui Mie, harapan publik tidak berhenti pada kebijakan beliau yang jauh dari tindakan korup, namun yang paling penting adalah bagaimana beliau mampu merangkul keberagaman masyarakat. Dengan komposisi yang heterogen, Singkawang mesti diberdayakan dengan maksimal semata-mata untuk kemajuan masyarakatnya. Dan ini adalah tugas berat beliau, untuk menjaga stabilitas pemerintahannya dengan merangkul semua elemen yang ada.

Berdasarkan beberapa hal yang dipaparkan di atas, perlu dipahami bersama bahwa tugas seorang tokoh publik adalah memanajemen konstituennya secara benar sesuai dengan aturan perundang-undangan. Selanjutnya, terpilihnya Tjhai Chui Mie sebagai walikota Singkawang dan kemunculan tokoh publik perempuan lainnya menunjukkan bahwa prinsip gender tradisional sudah kehilangan bentuk pakemnya. Ini bukan merupakan bentuk kemunduran, melainkan bentuk adaptasi masyarakat dalam mengakomodasi sosok-sosok berkapasitas dan berkualitas untuk diberikan kepercayaan sebagai pengambil kebijakan publik.

Singkawang, 10 Oktober 2017

Oleh Haries Pribady




*Tjhai Chui Mie ketika membuka acara MTQ Kota Singkawang tahun 2018

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mampukah TCM Membawa Singkawang Lebih Progresif? "

Posting Komentar